Bung Tomo, Pengobar Semangat 10 Nopember 1945

Selamat hari Pahlawan 10 Nopember 2019.

Hari ini kita memperingati hari Pahlawan sekaligus untuk mengenang Pertempuran Surabaya yang terjadi di hari yang sama 74 tahun silam, tepatnya 10 Nopember 1945. Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran tentara dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia melawan tentara Britania Raya dan India Britania atau lebih dikenal dengan sebutan tentara Sekutu. Inilah pertempuran melawan pasukan asing pertama dan terbesar sesudah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Sebanyak 6.000 hingga 16.000 pejuang Republik gugur dan 200.000 warga sipil mengungsi. Di pihak lawan, setidaknya 2.000 orang terbunuh. Wajar jika kemudian pemerintah menetapkan peristiwa 10 Nopember sebagai hari Pahlawan.

Setiap kali Indonesia memperingati peristiwa 10 Nopember, setiap kali pula nama Bung Tomo disebut. Kenapa? Ternyata karena ‘orasi beliau yang membakar semangat rakyat untuk memberikan perlawanan’, kata sejarawan Rushdy Hoesin. Siapakah Bung Tomo? mari kita simak biografi beliau.

Bung Tomo bernama asli Sutomo, lahir di kampung Blauran Surabaya pada tanggal 3 Oktober 1920. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo seorang pegawai kelas menengah yang mengabdi di pemerintahan Hindia Belanda. Ibunda Bung Tomo memiliki darah campuran antara Jawa Tengah, Madura dan Sunda.

Ia dididik di rumah yang sangat menjunjung tinggi pendidikan. Akan tetapi di usia 12 tahun ia harus keluar dari pendidikannya di MULO dan melakukan berbagai jenis usaha kecil-kecilan untuk menghidupi keluarga. Walau pun berhasil menamatkan pendidikan HBS melalui jalur korespondensi, tapi secara resmi Bung Tomo tidak lulus.

Bung Tomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Di usia 17 tahun, ia menjadi terkenal karena berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang meraih peringkat Pandu Garuda. Minatnya pada dunia jurnalis sangat tinggi. Ia pernah bekerja sebagai wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya pada tahun 1937. Setahun kemudian, ia menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakjat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Express.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Bung Tomo bekerja di kantor berita Domei, bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur. Saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang. Selanjutnya beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.

Dalam kunjungan ke Jakarta pada awal Oktober 1945, Bung Tomo berhasil meyakinkan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin agar memanfaatkan siaran radio untuk mengobarkan semangat rakyat. Ia kemudian mendirikan Radio Pemberontakan yang berguna untuk membakar semangat juang dan rasa persatuan di hati rakyat Surabaya. Dalam setiap pidatonya , suara Bung Tomo terdengar lantang, berani dan yakin, penuh semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Ultimatum tentara Inggris tanggal 9 Nopember 1945 yang menuntut agar semua orang Indonesia yang memiliki senjata api menyerahkan senjata mereka dan menandatangani surat pernyataan menyerah, dijawab Bung Tomo melalui pidato radionya yang sangat terkenal :  “Selama banteng-banteng Indonesia, pemuda Indonesia memiliki darah merah yang bisa menodai baju putih menjadi merah dan putih, kita tidak akan pernah menyerah kepada siapa pun juga. Para teman, para pejuang dan khususnya para pemuda Indonesia, kita harus terus bertarung, kita akan mengusir para kolonialis ini keluar dari tanah air Indonesia yang sangat kita cintai. Sudah terlalu lama kita menderita, kita dieksploitasi, kita diinjak oleh bangsa asing. Kini saatmya kita mempertahankan kemerdekaan negara ini. Teriakan kita adalah merdeka atau mati. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!”

Dalam pertempuran 10 Nopember 1945 memang Indonesia menderita kekalahan, tapi kejadian ini menjadi sangat dikenal sebagai peristiwa yang sangat heroik dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan mendapat dukungan dari dunia internasional.

Pada tanggal 19 Juni 1947, Bung Tomo menikah dengan Sulistina, perempuan kelahiran Malang Jawa Timur tanggal 25 Oktober 1925. Mereka dikaruniai lima anak.

Sekitar tahun 1950an, Bung Tomo terjun ke dunia politik. Jabatan penting yang pernah disandangnya adalah Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran merangkap sebagai Menteri Sosial Ad Interim (1955-1956), anggota DPR mewakili Partai Rakyat Indonesia (1956-1959). Jabatan lain ialah Ketua II (Bidang Ideologi Sosial Politik) Markas Besar Legiun Veteran.

Bung Tomo dikenal sebagai tokoh yang idealis dan kritis, yang tidak dapat membiarkan terjadinya tindakan-tindakan pemerintah yang menyimpang dari tujuan perjuangan. Karena itu ia sering mengirim surat yang bernada kritik sekaligus koreksian kepada pemerintah. Baik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto.

Tahun 1960 ia mengadukan Presiden Soekarno ke Mahkamah Agung karena membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Bung Tomo pernah dipenjara dengan tuduhan melakukan upaya subversif dalam setiap pidatonya. Hal ini berhubungan dengan informasi yang didengar beliau tentang pembangunan TMII dan mengkritik kebijakan-kebijakan Presiden Soeharto. Selama setahun dipenjara (1978-1979), bukti upaya subversif seperti yang dituduhkan kepadanya tidak ditemukan, sehingga beliau dibebaskan.

Bung Tomo juga menulis beberapa buku, yakni :

  1. Kepada Bangsaku (1946)
  2. 10 Nopember 1945 (1951)
  3. Koordinasi dalam Republik Indonesia (1953)
  4. Ke mana Bekas Pejuang Bersenjata (1953)

Sebagai tokoh pejuang, Bung Tomo juga menerima beberapa tanda jasa, yakni : Satya Lencana Kemerdekaan, Bintang Gerilya dan Bintang Veteran Republik Indonesia

Atas jasa-jasanya, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan 2008, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 Nopember 2008.

Bung Tomo meninggal saat melaksanakan ibadah haji pada tanggal 7 Oktober 1981. Jenazahnya dibawa pulang ke Indonesia dan dimakamkan di pemakaman umum Ngagel Surabaya.

‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya’, demikian kalimat yang sangat terkenal dari Ir. Soekarno, presiden pertama RI. Maka, marilah kita hormati jasa para pahlawan dengan meneruskan perjuangan mereka dengan segala sikap postif kita terhadap negeri, melakukan yang terbaik yang kita bisa, demi kebaikan dan kemajuan bangsa.

Semua perjuangan untuk tanah air, tiada pengorbanan yang terlalu besar ~Bung Tomo