Anakku Lelet Sekali

ANAKKU LELET SEKALI

Oleh : Antika Winaprilani, S.Si*

 

Ingatan saya terhenti pada suatu hari ketika menjemput anak di sekolah, salah satu sekolah swasta di ujung Jawa Tengah. Tak seperti biasanya, hari itu saya menjemput anak agak awal, jadi suasana di sekolah masih ramai. Tanpa sengaja mendengar percakapan sekumpulan bunda-bunda yang tengah menunggu anak sekaligus arisan dan sebagian bunda yang lain belajar merajut.

“Eh…Bun, anakku kok lelet sekali ya?” “Jadi sering ga sabaran aku ngadepinnya”

“Iya…sama anakku juga, apalagi kalau disuruh belajar… ampun dah! Kebanyaken alasan!”

“Oaallaahh…..lhaa ga jauh beda dengan anak ku Bun…Ujungnya cuma emosi kalau nyuruh dia! Ga ada yang beres!”

“Kenapa anak-anak kita seperti itu ya? Perasaan dulu pas kita gak gitu-gitu amat ya?…hhhmmh !!”

“Iyaaa….. disuruh apa aja lelet, klalat klelet kayak ulet apalagi disuruh belajar!! Hadeehh….”

Jujur saja, mendengar keluhan tersebut, aku langsung teringat pada kedua anakku. Apakah benar apa yang disampaikan bunda-bunda tadi, bahwa anak zaman now itu lelet? Bukankah kecepatan internet justru makin hari makin pesat mulai dari 1G, 2G, 3G akhirnya 4G dan kabarnya akan segera launching 5G?!  Adakah yang kurang dari pola asuh kita selama ini? Ahh…jangan-jangan aku termasuk ibu yang abai terhadap perkembangan anakku sendiri.

Percakapan  bunda-bunda itu mengalirkan rasa ingin tahuku untuk mencermati tingkah laku buah hati dan fenomena perilaku anak zaman milenial ini. Karena berani menjadi orang tua itu berarti harus mau berani terus mencari ilmu untuk menjadi orang tua yang terbaik, karena sesungguhnya anak adalah titipan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya.

Akhirnya saat berselancar mencari sumber informasi, aku menemukan sebuah buku yang digagas oleh Gerakan Indonesia Cinta Keluarga, buku yang disusun oleh Rani Razak Noe’man dengan judul Bicara Bahasa Anak. Di sinilah terjawab segala tanya tentang permasalahan anak dan orangtua, yakni tentang KOMUNIKASI. Ya benar, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa berkomunikasi satu sama lain. Ketika terjalin komunikasi yang baik, harmonis maka semuanya akan berjalan lancar. Namun lain halnya ketika saluran komunikasi justru tersendat, bisa karena emosi berlebihan, ketidaktahuan atau bahkan menelan mentah hoaks, maka sudah dapat diperkirakan bahwa ujungnya pasti ketidakharmonisan.

Izinkan saya untuk menuliskan beberapa poin penting dalam buku tersebut agar kita bisa sama-sama belajar dalam mengasuh anak.

Dalam keseharian kita, banyak sekali hal-hal remeh temeh yang memicu seisi rumah menjadi emosional, panik dan berujung pada kestresan Bunda. Iya, mari kita tengok sebentar kerepotan saat membangunkan anak pada pagi hari, menyuruhnya segera salat subuh, mengecek ulang jadwal dan peralatan sekolah, mandi, sarapan, dan mengantar sekolah yang semuanya harus selasai sebelum jam tujuh pagi. Hhhmmm…luar biasa sekali kan ya? Marilah sejenak menarik nafas panjang untuk melepaskan penat yang ada; karena saya pun mengalami hal yang sama J

Saat ini jam delapan pagi artinya rumah agak lengang, jadi mari kita bayangkan. Bagaimana rasanya ketika Bunda memiliki anak yang mandiri, belajar dengan rajin, nilainya bagus di sekolah, melakukan tugas-tugasnya dengan baik, beribadah dengan rajin, hormat kepada orangtua, tidak terpengaruh perilaku teman-temannya yang negatif?? Wooww sekali rasanya ya Bun? Pastilah para bunda akan menjalani hari-hari dengan tenang dan nyaman, anti stres dan panik, tidak membuang energi untuk mengomel, membentak bahkan mengancam. Hhhmmm…sekali lagi mari pejamkan mata dan bayangkan ini yang akan kita hadirkan di rumah, baitii jannatii_rumahku surgaku.

Dan untuk mewujudkan keindahan itu diperlukan kerjasama yang baik antara Ayah dan Bunda untuk memainkan nada-nada dasar yang pas sehingga tercipta sebuah melodi yang merdu nan harmonis. Anak-anak mutlak membutuhkan peran Ayah dan Bunda yang kompak, tidak bisa hanya mengandalkan salah satu saja. Bunda lebih berperan dalam menumbuhkan rasa mencintai dan mengasihi melalui sentuhan lembut kasih sayang, menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak melalui cerita dan dongeng sedangkan Ayah berperan dalam menumbuhkan rasa percaya diri dan kompetensi melalui kegiatan bermain, menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi melalui kisah tentang cita-cita.

Sekilas dapat kita cermati bahwa dalam memainkan perannya, Ayah dan Bunda membutuhkan cerita, dongeng ataupun kisah. Disini saya teringat cerita dari guru saya bahwa isi Al Quran, kitab suci hampir 60% di dalamnya berisikan kisah. Kisah tentang para Nabi dan Rosul, tentang orang-orang saleh seperti Lukman Al-Hakim, Maryam binti Imron bahkan termuat pula kisah tentang orang-orang yang tersesat seperti Fir’aun, Qorun dan Abu Lahab. Jadi melalui teladan kisah-kisah itu, kita dapat mengambil hikmah kehidupan sehingga mampu memilih jalan yang seharusnya (lurus).

Kembali ke dunia anak, keampuhan cerita dan dongeng sudah teruji dalam menempa jiwa. Lihatlah betapa anak-anak kita sangat menggemari serial garapan TV malaysia “Pada Jaman Dahulu”, antusias saat jam tayang “Ipin dan Upin” dimulai, pun anak-anak takzim melihat “Opah” ketika berkisah. Nah, untuk itulah Bunda, marilah kita luangkan 10-15 menit saja sebelum anak terlelap. Ceritakan dongeng kebijaksanaan agar anak kita mampu mengerti tanpa merasa bahwa mereka sedang diperintah.

Dalam ilmu Fisika dijelaskan bahwa gelombang Alpha dengan frekuensi 8-12 Hz adalah brainwave yang terjadi saat seseorang mengalami relaksasi dengan tanda-tanda mata mulai menutup/mengantuk. Frekuensi 8-12 Hz merupakan frekuensi pengendali, penghubung antara pikiran sadar dan bawah sadar. Alpha adalah gelombang yang paling cocok untuk pemrograman bawah sadar.

Jadi, marilah kita usahakan untuk membisikkan nasihat-nasihat penuh kelembutan ke telinga anak-anak sesaat memasuki fase Alpha-nya.

“Nduk..mau jadi anak yang cantik ga?” “Le..mau jadi anak ganteng?”

“Maaauuuu……” “Kalau mau, Nduk… Le….”

“Nduk.. Le… selamat tidur, besok pagi bangun jam 4.30 kita salat subuh bersama ya?”

“Nduk.. Le… mimpi indah yaa, besok bangun pagi segar bugar, semangat sekolahnya”

“Nduk.. Le… met bobo ya, Ayah Bunda sayang kamu… Be soleh/solehah ya?”

Ditutup dengan sebuah elusan di punggung kecilnya dengan iringan doa “Robbi habli minas solihin_Ya Tuhan ku, karuniakanlah kami anak yang soleh/solehah”

Bayangkanlah bahwa esok pagi adalah pagi yang lebih indah dari sebelumnya, pagi yang penuh semangat, anak-anak bangun di awal Subuh, bersegera menyelesaikan rutinitas pagi tanpa bentakan dan teriakan lagi. Betapa sumringah wajah para Bunda menyiapkan sarapan pagi. Amazing sekali ya Bun? Ada komunikasi yang lancar antara Ayah dan Bunda, ada pula komunikasi yang indah antara Bunda dan ananda.

Sebagai penutup, sedikit saya akan memberikan informasi, bahwa ada salah satu lembaga yang mengajarkan mental aritmetika juga dengan analogi cerita. Nama lembaga itu adalah IMA (Internasional Mental Aritmetika). Pengajar IMA selalu memulai pembelajaran di grade (level) dasar dengan analogi-analogi cerita yang seru. Pada grade 10, hampir 40% materi berisi analogi cerita dan biasanya guru akan mendongeng menceritakan angka-angka dalam ‘dongeng tentang analogi jari-jari angka, analogi  rumah adik, rumah kakak, ulang tahun adik maupun pesta pernikahan kakak’. Tidak hanya di grade awal, grade selanjutnya juga akan ada cerita-cerita seru lainnya, Asyiiiikkk bukaaaaannnn…??

Ya, seperti yang telah saya ulas diatas, melalui cerita, anak-anak belajar dengan perasaan bahagia sehingga materi pembelajaran terserap otak secara maksimal. Konsep fun learning dalam belajar mental aritmetika di IMA ternyata mampu menyeimbangkan otak kanan dan kiri siswa serta mampu meningkatkan konsentrasi. Jadi, ketika saya ditanya, les apa yang cocok diberikan kepada anak usia TK-SD? Dengan mantap saya akan jawab “Cukup les 1 saja, Mental Aritmetika IMA” dan gunakan waktu luang yang masih tersisa untuk bermain dan menikmati masa kecilnya. Dalam satu kurun waktu, jangan bebani anak dengan bermacam les, cukup 1 saja, IMA saja. OK…

 

*Pengelola IMA Cabang Cilacap Utara (Contact : 085726095908)