Bright As The Sun

Sejak separuh akhir Agustus hingga awal September ini, perhatian Indonesia tertuju pada Asian Games. Tak kurang 45 negara ikut serta dalam pesta olahraga terbesar se-benua Asia tersebut dan 40 cabang olahraga dipertandingkan. Acara ini baru beberapa hari berlalu, tapi prestasi yang diukir para atlet tidak berlalu begitu saja.

Selalu terharu menyaksikan mereka menerima kalungan medali emas dan mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya mengiringi naiknya Sang Saka Merah Putih. Berdebar-debar, bahkan sering ikut berteriak saat menjadi saksi perjuangan para pahlawan olahraga ini mengharumkan nama bangsa. Masih ingat bukan, menit-menit menegangkan Jonatan Christie mengalahkan Tienchen Chou dari China Taipei untuk merebut emas cabang bulu tangkis? Betapa dia mengeluarkan segala daya upaya hingga detik terakhir dengan jalan yang tidak mudah.

Apa yang kita saksikan dalam setiap pertandingan? Seorang Pipiet Kamelia meraih medali emas cabang pencak silat hanya dengan bertarung beberapa menit. Lalu Muhammad Zohri dan kawan-kawannya hanya berlari sekian detik di lapangan untuk bisa mendapat medali perak nomor lari estafet 400 meter. Diananda Choirunisa sang peraih medali perak cabang panahan hanya melesatkan beberapa anak panah saat bertanding.

Apakah prestasi para atlet itu terjadi begitu saja? Atau diperjuangkan saat pesta olahraga tersebut berlangsung saja? Tentu jawabannya : tidak! Mereka semua para atlet kebanggaan kita itu telah melewati latihan yang sangat panjang, bertahun-tahun. Setiap hari menjalani latihan fisik dan teknik secara disiplin dan konsisten. Jutaan anak panah sudah dilepaskan para atlet panahan dalam sesi latihan. Pelatih taekwondo melatih atletnya melakukan berbagai jenis tendangan meski kadang harus cedera. Lintasan lari pun menjadi saksi betapa seringnya dilewati para atlet lari sebelum bertanding yang sesungguhnya. Usaha di balik prestasi yang tidak terlihat oleh kita, itulah yang sangat pantas kita hargai.

Maka tak berlebihan jika para peraih medali ini mendapatkan bonus besar. Setidaknya 1,5 Milyar bagi peraih emas Asian Games 2018. Ditambah bonus lain berupa rumah, apartemen, dan pekerjaan tetap setelah pensiun dari atlet, agar kehidupan masa depannya terjamin. Kenapa? Karena untuk mendapatkan itu semua, mereka mengorbankan banyak hal, terutama waktu. Waktu mereka bersama keluarga jelas terampas, begitu pun waktu belajar di sekolah.

Diakui atau tidak, sangat banyak orang tua yang menginginkan anaknya jago matematika, fisika, dan jadi juara sekolah. Tapi ketika melihat prestasi olahraga para atlet Asian Games ini, orang tua mana yang tidak bangga? Raja bulu tangkis dunia, Kevin dan Markus tidak menjadi juara kelas. Eko Yuli Irawan sang atlet angkat besi itu bukanlah jago matematika. Karena sejak kecil mereka telah fokus mengejar prestasi dengan latihan olahraga. Pembelajaran di sekolah tidaklah menjadi yang utama, seperti umumnya anak-anak lain.

Begitulah, masing-masing anak terlahir dengan bakat bawaan. Yang terpenting bagi orang tua adalah bagaimana bisa menemukannya pada diri anak, lalu mengembangkan, mengarahkan, dan memfasilitasinya. Tidak semua anak memiliki kemampuan kognitif yang baik dan ber-IQ tinggi. Banyak yang dikaruniai kemampuan fisik  luar biasa untuk menjadi atlet. Jadi, bijaklah dan hargailah sekecil apapun prestasi anak-anak, sebab kita tidak pernah tahu, di depan sana…bisa saja mereka menjadi pahlawan bangsa dengan bakat dan jalan yang mereka pilih. Dan mereka akan menunjukkan pada dunia bahwa mereka bisa bersinar seterang matahari.

(Opy, September 2018)

jafro

Jafro Megawanto dan tim paralayang putra Indonesia

(ANTARA FOTO/INASGOC/Crack Palinggi-Tagor Siagian)