Masing-masing anak memiliki bakatnya sendiri. Bisa jadi bakat tersebut dibawa sejak lahir yang menurun dari orang tuanya. Namun bisa juga muncul secara alami, bukan faktor keturunan. Meski umumnya bakat akan terlihat jelas sekitar usia sepuluh tahun, tapi kita bisa melihat bakat anak ketika mereka masih kecil. Ada anak umur tiga tahun yang sudah pandai menari menyesuaikan iringan musik. Ada yang sudah terampil merapikan mainannya sendiri. Ada yang senang membantu ibu memasak dan mencoba-coba membuat masakan sendiri.
Ada anak yang tidak banyak bicara tapi tekun saat menggambar atau mewarnai. Ada yang lebih suka membaca buku cerita meski belum terlalu lancar dalam membaca. Ada yang senang bermain bola dan aktivitas fisik seperti olah raga. Ada pula yang lebih suka berhitung dibanding aktivitas lainnya. Sebaliknya, tentu ada anak yang merasa tidak menyukai angka-angka, akibatnya tidak suka dengan pelajaran matematika.
Lalu bagaimana kita sebagai orang tua menyikapi anak yang cenderung menolak saat bertemu dengan matematika? Mungkin bakat dan minatnya memang bukan ke pelajaran hitung-hitungan. Namun mereka tetap harus mendapatkan pelajaran tersebut di sekolah. Berikut ada beberapa tips yang bisa diterapkan kepada anak-anak kita sejak baru masuk sekolah dasar.
Pertama, materi pelajaran matematika bersifat beruntun dan berkelanjutan. Artinya materi di kelas dua adalah kelanjutan dari materi kelas satu, begitu seterusnya. Sebagai contoh, di kelas satu anak belajar tambah kurang bilangan di bawah 100. Kelas dua sudah belajar ratusan dan perkalian dasar, satuan dikali satuan. Kelas tiga sudah belajar puluhan kali satuan. Karena itu, pastikan anak paham materi sejak dasar.
Sering dijumpai, anak kelas dua yang sangat kesulitan mengerjakan pelajaran matematika. Ketika diberi soal kelas satu, ternyata dia masih kesulitan. Pada kasus seperti ini, jangan memaksanya untuk langsung mengerjakan materi di kelasnya, karena hanya akan membuatnya makin bingung. Lebih baik mundur dulu ke kelas satu, ulang-ulang dari soal yang paling sederhana hingga dia bisa menyelesaikan dengan baik.
Saat dia bisa mengerjakan, otomatis kepercayaan dirinya akan tumbuh. Setelah itu pelan-pelan berikan materi kelas dua. Ingat, jangan buru-buru mengajaknya berlari mengejar ketertinggalan. Jika tidak paham dengan materi yang dasar, nantinya tetap akan kesulitan. Jadi lebih baik mengulang lagi tapi benar-benar memahami materi, dari pada buru-buru tapi hanya sekedar mengisi jawaban yang tidak betul-betul dimengerti.
Tips kedua, bantu anak dengan perumpamaan, ini adalah cara yang sangat ampuh. Misalnya saat anak kelas satu belajar mengenai bangun datar segitiga. Jangan hanya membacakan bahwa bangun datar ini memiliki tiga sisi tapi anak tidak paham yang dimaksud sisi itu yang mana. Lebih baik tunjukkan contoh barang berbentuk segitiga, lalu tunjukkan secara langsung sisinya. Suruh juga dia untuk memegang dan menyebutkannya.
Begitu pula saat kelas dua, anak mulai belajar pecahan, akan cukup sulit dibayangkan jika tidak kita beri contoh langsung. Bagi anak yang suka ikut memasak, ajak membuat kue, kemudian bagi kue-kue tersebut untuk menunjukkan yang dimaksud pecahan setengah, sepertiga, seperempat, dan seterusnya. Ini akan menjadi pelajaran matematika tentang pecahan yang menyenangkan buat anak.
Untuk menunjukkan pecahan sebagai bagian dari sekumpulan objek, bisa minta anak yang suka mewarnai menghitung banyaknya pensil warna yang dimiliki. Misalkan ada 12 buah, lalu ajarkan untuk membaginya menjadi dua sama banyak. Lalu masukkan pengertian bahwa setengah dari 12 adalah 6. Kemudian minta lagi untuk membagi menjadi tiga bagian sama banyak, dan seterusnya.
Yang ketiga, ingat bahwa pelajaran matematika tidak bisa hanya dibaca, hafal, lalu bisa mengerjakan soal. Berbeda dengan pelajaran bahasa Indonesia, misalnya, anak membaca bacaan lalu diberi pertanyaan tentang isi bacaan. Matematika tidak bisa hanya dibaca, tapi harus berlatih mengerjakan soal. Kunci belajar matematika adalah banyak latihan mengerjakan soal.
Misalkan anak kelas lima, diajarkan untuk menghafal rumus volume balok. Mereka akan hafal sekali dengan rumus panjang dikali lebar dikali tinggi, tapi saat diberi soal oleh guru, dia kebingungan untuk menentukan manakah yang dimaksud panjang, lebar, dan tingginya. Maka setiap ada rumus baru, pastikan bahwa anak tidak sekadar menghafal tapi juga mempraktikkannya ke dalam soal, termasuk soal cerita.
Tips terakhir adalah pahami konsepnya. Kenapa? Karena kalau tidak memahami konsep, anak akan bingung menghadapi soal yang diubah meskipun sebenarnya menggunakan rumus yang sama. Contohnya pada materi mencari volume seperti di atas. Cobalah untuk memahamkan dengan menunjukkan sebuah kaleng berbentuk balok yang diisi air.
Ajak anak menentukan mana yang disebut lebar, panjang, dan tinggi kaleng. Setelah itu, minta dia menghitung volumenya. Nah volume yang sudah didapatkan itu setara dengan banyaknya air yang dimasukkan ke dalam kaleng tersebut. Konsep tentang volume ini jika sudah dipahami, anak tidak akan bingung ketika guru memberikan soal yang sedikit diubah. Misalkan yang diketahui adalah bak mandi yang hanya terisi air setengahnya sejumlah sekian liter. Hal itu tidak lagi susah karena dalam bayangannya sudah tahu apa yang dimaksud volume dan juga sudah paham tentang konsep setengah.
Nah para orang tua hebat, itu tadi beberapa tips sederhana untuk membantu anak memahami konsep matematika yang kadang hanya dipahami sebatas rumus. Semoga bermanfaat untuk membantu, khususnya anak yang kurang menaruh minat pada pelajaran hitung-hitungan ini.